Beranda | Artikel
Perjanjian yang Tidak Sah dalam Jual Beli
Selasa, 15 April 2014

Pernah kita melihat ada suatu persyaratan yang dipajang oleh sebuah toko, “Barang yang sudah dibeli tidak boleh dikembalikan lagi.” Ini adalah persyaratan yang dibuat pemilik toko. Apakah setiap persyaratan atau perjanjian semacam ini sah? Atau masih melihat pada aturan Islam.

Perjanjian yang Bertentangan dengan Aturan Islam

Perjanjian dalam jual beli tidak selamanya mesti dipenuhi. Ada yang bertentangan dengan syari’at atau prinsip Islam, perjanjian tersebut tidak boleh dipenuhi.

Dari  ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata bahwa Bariroh (budak wanita dari kaum Anshar) pernah mendatangi Aisyah, lantas ia meminta pada Aisyah untuk memerdekakan dia (dengan membayar sejumlah uang pada tuannya, disebut akad mukatabah, -pen). Aisyah mengatakan, “Jika engkau mau, aku akan memberikan sejumlah uang pada tuanmu untuk pembebasanmu. Namun hak wala’mu untukku -di mana wala’ itu adalah hak warisan yang jadi milik orang yang memerdekakannya nantinya-.

Lantas majikan Bariroh berkata, “Aku mau, namun hak wala’mu tetap untukku.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian datang dan Aisyah menceritakan apa yang terjadi. Beliau pun bersabda, “Bebaskan dia -Bariroh-, tetapi yang benar, hak wala’ adalah bagi orang yang memerdekakan.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata di atas mimbar,

مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَشْتَرِطُونَ شُرُوطًا لَيْسَتْ فِى كِتَابِ اللَّهِ ، مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ ، وَإِنِ اشْتَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ

Mengapa bisa ada kaum yang membuat suatu persyaratan yang menyelisihi Kitabullah. Siapa yang membuat syarat lantas syarat tersebut bertentangan dengan Kitabullah, maka ia tidak pantas mendapatkan syarat tersebut walaupun ia telah membuat seratus syarat.” (HR. Bukhari no. 456 dan Muslim no. 1504).

Dari hadits di atas bisa diambil pelajaran penting bahwa setiap perjanjian atau persyaratan yang bertentangan dengan aturan Islam, maka itu adalah persyaratan keliru yang tidak boleh dipenuhi.

Perjanjian yang Tidak Sah

Perjanjian dalam jual beli yang tidak sah ada dua bentuk.

Pertama, ada perjanjian yang kembali pada rusaknya akad, yaitu tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli.

Misalnya, barang yang dijual tidak jelas atau harganya tidak jelas, ada ghoror di dalamnya. Atau bisa juga objek yang dijual tidak bisa diserahterimakan.

Ada juga yang tidak memenuhi maksud dari akad. Misalnya saja dalam pernikahan dipersyaratkan menikah untuk nantinya ditalak. Padahal maksud nikah yang sebenarnya adalah untuk menjalin hubungan yang terus menerus, bukan sifatnya temporer.

Kedua, ada perjanjian yang merupakan syarat yang batil, namun tidak sampai merusak akad karena tidak mencacati rukun atau pun syarat jual beli.

Beberapa contoh perjanjian atau persyaratan yang batil:

1- Seseorang berinvestasi dan mempersyaratkan tidak mau menanggung rugi, hanya mau menarik laba. Padahal telah digariskan sebuah kaedah dari hadits,

الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ

Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian.” (HR. Abu Daud no. 3510, An Nasai no. 4490, Tirmidzi no. 1285, Ibnu Majah no. 2243 dan Ahmad 6: 237. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Jadi kalau memang ingin meraup untung, maka harus punya kesiapan pula untuk menanggung kerugian. Kalau tidak berani demikian, maka itu sama saja meminjamkan uang, lalu ingin meraup untung. Padahal para ulama telah menggariskan sebuah kaedah yang mereka sepakati,

كل قرض جر منفعة فهو حرام

“Setiap utang piutang yang di dalamnya ada keuntungan, maka itu dihukumi haram.”

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ

“Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al Mughni, 6: 436)

2- Suatu perusahaan menjual roti pada suatu toko. Jika roti tersebut tidak laku, maka si punya toko boleh kembalikan pada perusahaan. Ini syarat yang tidak benar.

Yang dibolehkan adalah seperti pada sistem konsinyasi. Konsinyasi merupakan suatu perjanjian di mana pihak yang memiliki barang menyerahkan sejumlah barang kepada pihak tertentu untuk dijualkan dengan memberikan komisi atau keuntungan sebagaimana yang telah disepakati. Jika ada barang yang tersisa, boleh dikembalikan pada pihak perusahaan. Pada kasus konsinyasi ini, toko adalah sebagai wakil dari perusahaan dalam menjual barang. Jual beli yang demikian itu dibolehkan dan sah.

3- Penjual menulis pada nota pembelian, “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan lagi.” Syarat ini adalah syarat yang tidak benar. Maksud penjual dengan syarat ini adalah supaya akad jual beli tersebut bersifat lazim (tidak bisa dibatalkan), walau terdapat aib (cacat).

Yang benar, jika ada cacat, barang masih boleh dikembalikan oleh pembeli. Bisa jadi barang cacat itu ditukar dengan yang baru atau bisa jadi diambil uang setelah mendapatkan potongan.

4- Pembeli masih memiliki pilihan untuk mengembalikan barang -misal jika mendapati cacat-, namun tidak bisa minta uang kembali. Yang bisa dilakukan oleh si pembeli adalah mengganti barang lain dengan harga yang sama. Syarat ini juga adalah syarat yang keliru. Syarat tersebut terdapat ghoror karena barang yang ditukar tidaklah jelas barang yang mana. Begitu pula memudaratkan si pembeli karena seakan-akan penjual memaksa untuk memilih barang yang lain yang tidak jelas, namun harganya harus sama.

5- Dalam sistem kredit motor (leasing), jika debitur (pihak yang berutang) menunda pelunasan cicilan satu waktu tertentu, maka dibuat syarat bahwa barang kredit tersebut harus dikembalikan. Ini adalah syarat yang keliru karena bertentangan dengan konsekuensi akad yaitu adanya penundaan bayaran dengan harga yang lebih tinggi. Ini juga termasuk tindakan zalim dari pihak kreditur pada debitur. Padahal dalam masalah utang piutang jika ada orang yang benar-benar susah untuk membereskan utangnya, hendaknya diberi tenggang waktu. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 280). Baca selengkapnya hukum leasing (kredit lewat pihak ketiga).

Semoga bermanfaat bagi pembaca setia Rumaysho.Com sekalian.

 

Referensi:

Al Mukhtashor fil Mu’amalat, Syaikh Prof. Dr. Kholid bin ‘Ali bin Muhammad Al Musyaiqih, terbitan Maktabah Ar Rusyd, cetakan tahun 1431 H.

Fathu Dzil Jalali wal Ikrom bi Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin, terbitan Darul Wathon, cetakan pertama, tahun 1433 H.

Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, tahqiq: Abdullah bin ‘Abdul Muhsin At Turkiy dan ‘Abdul Fattah, terbitan Dar ‘Alamul Kutub, cetakan tahun 1432 H.

Selesai disusun di siang hari @ Pesantren Darush Sholihin Gunungkidul, 15 Jumadats Tsaniyah 1435 H

Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Ikuti status kami dengan memfollow FB Muhammad Abduh TuasikalFans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat, Twitter @RumayshoCom

Segera pesan satu paket buku terbaru karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal berisi 6 buku dengan format: Paket 6 buku# nama pemesan# alamat# no HP# jumlah paket, lalu kirim sms ke 0852 00 171 222 atau via PIN BB 2A04EA0F. Harga paket Rp.80.000,- untuk Pulau Jawa, sudah termasuk ongkos kirim. Salah satu buku yang terdapat dalam paket tersebut adalah buku “Kenapa Masih Enggan Shalat?”. Info selengkapnya di Ruwaifi.Com.


Artikel asli: https://rumaysho.com/7242-perjanjian-yang-tidak-sah-dalam-jual-beli.html